Senin, 29 Oktober 2012

Guruku Pahlawanku Tanpa Jasamu Apalah Artiku


Guruku Pahlawanku
Tanpa Jasamu Apalah Artiku

                Rohima (14) berjalan bersama kawan-kawanya menyusuri jalanan berdebu sembari sesekali mereka berhenti menutu mata dan hidung kala ada mobil truk yang melintas. Jauh dan sulitnya medan yang mereka lalui tak mematahkan semangat kawan-kawan dari daerah terpelosok ini untuk berjuang tiap pagi buta melangkahkan kaki kecil mereka yang tanpa alas menapaki rerumputan pematang sawah berlumpur, menaklukkan aluran sungai yang basah, serta jalan pintas menembus hutan yang hanya dipandu jalan setapak tak bersahaja yang naik turun. Sepasang sepatu dan satu stel seragam menjadi barang mewah dan satu-satunya yang dimiliki Rohima dan kawan-kawan dari desa terpencil tersebut, oleh sebab itulah apa yang sejatinya melindungi kaki kecil mereka dari tajam dan panas jalanan yang mereka lewati tiap harinya lebih dipilih untuk didekap erat agar tak rusak atau kotor.
                Dengan menempuh rute lima kilometer setiap pagi harinya tanpa saran prasarana yang mendukung, membuat Rohima dan kawan-kawanya tak punya banyak pilihan selain berangkat lebih pagi dan berjalan kaki ke sekolah. Letak sekolah menengah pertama yang paling dekat berada di pingiran sebuah kabupaten kecil mau tak mau harus dia hadapi dengan lapang dada, sebuah keyakinan yang selalu dibisikan ibunya kala hendak tertidur dimalam hari pada telinga kecilnya yang tak tahan geli, merupakan doa agar ia menjadi anak selalu bersukur dan gigih mencapai cita.
                Perjalanan selama dua jam tanpa henti tiap paginya sejauh ini dapat membuahkan tepat waktunya kedatangan Rohima dan kawan-kawan pukul tujuh pas ketika gerbang depan sekolah hendak dikunci, berbeda dengan pulang, berangkat ke sekolah menjadi semakin berat karena tak bisa beristirahat dan harus menjaga bersih sepatu dan seragamnya. Pernah suatu ketika Rohima da kawan-kawan tak beruntung, sehingga mereka terlambat datang. Peraturan yang sudah digariskan seklah memang tak booleh dilanggar oleh siapa pun guna menjaga cita baik sekolah, sebagai sekolah berprestasi di kabupaten terseubut, didikan keras yang kadang membuat mereka meneteskan air mata kecewa, seolah bertanya kenapa harus seperti ini.
Kala peristiwa seperti itu terjadi, Rohima dan kawan-kawannya mau tak mau harus menerima hukuman dijemur menghormat bendera, sudah susah-susah berangkat sekolah, samapai sekolah terlambat, dan dihukum. Bu Risa (42) wali murid Rohima yang benar tau kodisi yang dihadapi anak didiknya tak mampu berbuat banyak, tegas dia menankan pada diri setiap anak didiknya guna disiplin dan bertanggung jawab, kata salah pada apa yang salah, dan katakan benar pada apa yang memang benar. Guru yang kini dipercaya mendidik mata pelajaran Bahasa Indonesia tersebut, kerap dibuat tak sampai hati melihat salah seorang muridnya yang dihukum seperti Rohima. Rasa iba dan kasih seorang wanita memang hal yang misterius.
Dengan sabar beliau yang putra-putrinya telah berkeluarga tersebut kerap memanggil Rohima dan kawan-kawan ke ruangan usai dihukum, didekapnya satu per satu anak didiknya sambil berbisik, sambil berujar lirih ditelinga mereka agar tidak bersedih, namun dengan mata yang berlinang menahan tangis. Hati guru mana yang tega melihat kondisi anak didikny yang terbatas seperti itu dan apa daya harus menghadapi atuaran yang seperti itu. Aturan memang harus ditegakkan, meski kadang hati harus tersayat. Sebotol minuman mineral sederhana selalu dia berikan pada anak didiknya yang habis mngalami hal seperti itu. Bergantian diteguknya sedikit-sedikit bergantia oleh Rohima dan kawan-kawan pemerian sederhana tersebut.
Potret masa kecil yang keras dan didikan penuh kasih dari Bu Risa membuatnya kini menjadi seorang pribadi tanguh berkarakter. Sebagai seorang wanita karis yang senantiasa konsisten mengejar impianya sebagai seorang pengacara Rohima (27) kini bersinar di belantika dunia penegakan hukum. Kerja kerasnya semasa SMP mendapatkan apresiasi yang baik dari sebuah perusahaan cukup besar di kabupaten tersebut dalam bentuk bea siswa SMA, usai SMA, semapat bekerja serabutan sebagai pelayan kafe, tenaga cuci piring restoran, hingga sales promotion girls, sedikit demi sedikit ia mengumpulkan uang untuk biaya kuliah. Tampaknya kuliah dibidang hukum memang pas dengan Rohima, prestasinya cukup baik dan dikantonginya beasiswa selama tiga tahun berturut-turut, sembari bertahan hidup dengan kerja paruh waktu di salah satu kantor pengacara, Rohima lulus dengan cepat dengan waktu studi tiga setengah tahun dan kini bekerja penuh di kantor pengacara tersebut.
Selalu dalam renung dia ingat, bahwa dirinya takkan bisa seperti sekarang jika tanpa jasa para gurunya, baik para dosen, para guru sekolah, para seinor dan atasan di tempat kerja, termasuk Bu Risa. Semua gurunya adalah pahlawannya, tanoa jasa merka apalah artinya seorang Rohima (ECH).