Andai Aku Menjadi Ketua
KPK
Berhenti
berandai-andai, genggam tangan, rapatkan
barisan,
dukung
KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi)
Sembari terus memutar saluran televisi
dengan remote
control tercengkram erat ditangan kanannya,
Arisa (21) memasang wajah mual atas apa yang dipandanginya
di layar kaca. Berpindah satu stasiun tv ke yang lain yang disuguhkan
sama saja, yang minta digantung di monas, yang itu
salah mentri terdahulu saya hanya melanjutkan, yang mantan selebritis menangis di persidangan, yang ditanya jawabanya
lupa semua. Bagaikan iklan sabun yang terus putar di tengah
jeda film, korupsi lagi, korupsi lagi, berkecamuk dibenaknya.
Bosan, sebal, malu, buatnya menekan tombol power
di sudut remote. Layar perlahan
menghitam, perhatinya teralih pada netbook
letaknya berdekatan. Kunjungan sorenya ke blog
milik seorang kawan sesama aktifis BEM, mengelitik hatinya
kala terpampang tautan Andai Aku Menjadi Ketua KPK.
Tautan sengaja dipasang untuk mengobarkan semangat, melambung Arisa
dalam ilusinya. Tampak dirinya berada di sebuah rapat besar
pembahasan undang-undang hukuman mati bagi koruptor dan pendidikan dini anti korupsi. Di satu sudut tampak para pakar HAM bercoltek
tentang penghapusan hukuman mati. Di sudut lain tampak
para intelek dunia pendidikan berbisik-bisik perihal jadi tambah beratnya
tugas mereka. Di lain sudut, dari lembaga penegakan
hukum mencengkram erat dahinya menahan pusing.
Semua mata tertuju
padanya yang melingkarkan
pena dijemari kanannya menguratkan tinta darah bermakna
setuju. Dilahirkan olehnya aturan tebalnya berlembar-lembar yang
dimatangkanya bertahun-tahun yang jika singkat dipahami
hanyalah sepengal kalimat. Hukum mati
para koruptor dan didik sejak dini jiwa anti korupsi (ECH).