Rabu, 21 November 2012

Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya Kisah Tari Pingkan-Matindas Minahasa


Mari Jo Jaga Torang Pe Budaya
Kisah Tari Pingkan-Matindas Minahasa
Ini Milik Bangsaku Jangan Berani Kau Mengusik Menganggu
                Terlahir dengan paras yang cantik dan hati yang mulia, seorang gadis kecil Minahasa bernama Pingkan (12) tengah diuji dengan sakit keras. Beragam ahli pengobatan didatangkan demi menyembuhkan sang gadis cantik malang yang kini tergolek lemah diranjang, namun belum seorang pun berhasil mengetahui terlebih menyembuhkan apa yang diderita.
                Hingga pada suatu kesempatan datanglah seorang pemuda bernama Matindas, Matindas yang tulus berupaya semata-mata untuk menolong orang yang membutuhkan bantunya tersebutnya akhirnya berhasil menyembuhkan sang gadis. Tangis air mata bahagia dan ribuan kata terima kasih dari sang gadi dan keluarnganya menglir deras pada sosok pemuda sederhana tersebut.
Seiring berjalanya waktu, kedekatan yang terjalin diatara sang pemuda dan sang gadis berbuah manis hubungan asmarah, hingga pada puncaknya dipersatuknlah keduanya dalam sebuah mahliga rumah tangga dalam satu ikatan perkawinan. Hari-hari dilalui keduanya sebagai sepasang suami istri dengan suka cita dan rasa sukur yang senantiasa membingkai di hati dan bibir keduanya. Hingga tiba pada sebuah hari kelabu dimana patung Pingkan yang dibuat Matindas sebagai kado pernikahan dan bukti besar cintanya lenyap kala pergi bernelayan. Patung yang sengaja diletakkan dibagian ujung muka kapal guna senantiasa meneguhkan hatinya kala berlayar mengarung laut lepas, kala dihempas badai dan diterjang ombak ganas selalu memberikannya kekuatan untuk bertahan dan kembali pulang.
                Nasib buruk belum berakhir sampai disitu, sebab takdir mempertemukanya dengan gerombolan para perompak kejih yang kala itu tengah menyerbu pesisir pantai Minahasa, situasi semakin sulit manakala tipu muslihat dan taktik licik para perompak menyudutkanya hingga terkepung dan tertawanlah dirinya. Mendekam berhari-hari hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan membuat hati sang istri yang tak mengetahui akan terjadinya hal buruk tersebut merasa sepi. Sembari terus meneteskan air mata mengiba dalam doa pada sang kuasa sang suami akan usai mencari nafkah, sang istri dengan sabar menunggu.
Sebuah wujud ketulusan yang mengalir indah dari hati suci seorang istri, rasa cintanya pada sang sumi yang besar, tidak pernah mengeluh oleh keadaan hidup, meski sang suami miskin dan sebatang kara.
Sebuah untaian kata indah yang senantiasa terucap dari bibir mungilnya kala tersebut oleh bisik sindir oleh mereka yang tak perna mengerti, bahwa kekayaan dan kemulian, boleh hilang sebentar saja, tetapi kasih sayang istri pada suami takkan hilang dirundung waktu.
Terhanyut bersama debur air laut yang menyentuh bibir pantai, patung yang hilang ditemukan oleh seorang nelayan. Sebuah patung indah dari seorang nelayan diberikan sebagi pesembahan bagi rajanya yang tengah berulang tahun, Raja Bolaang Mongondow yang bernama Loloda Mokoagow tampak begitu tertarik dengan hadiah patung yang diterimanya. Rasa takjubnya pada patung tersebut membawa pikiranya melayang terbang jauh menembus mimpi, dalam mimpinya dilihat sesosok wanita menyerupai patung. Atas penglihatan mimpinya, dibentuk dan utusnya sekawanan perajurit gagah perkasa terlatih khusus untuk menemukan sosok asli wanita yang didamba.
Sebuah pencarian panajang yang berujung dengan dipertemukanya sekawanan perajurit dengan sosok wanita dambaan sang Raja, sosok tersebut tak lain dan tak bukan adalah Pingkan. Bersama rombongan prajurit tersebut, Sang penasihat Raja memberanikan diri tampih guna mengutarak sebuah tawaran sulit dan mengoda pada sang wanita. Bujuk rayu dari janji-janji manis yang diutai lewat kata-kata sang penasihat Raja tampaknya tang menggoyahkan kokoh pendirian sang wanita. Serangkain jawaban bernada sama senantiasa terlontar dari bibir mungi sang wanita, rangkain baik perkataan yang erat digenggam dan dijadikan pedoman hidup, bahwa cinta tidak bisa dibeli dengan uang.
Usai panantian panjang bertemu dengan sang suami yang dibingkai dengan tangis haru, dekap erat, dan kata-kata kesal yang dapat dengan jeas terdengar sebab bunyi ‘he’ dan ‘mm’ tampil medominasi. Berhasilnya sang suami melarika diri dari jerat para perompak dan kisah tawaran sang raja menjadi cerita canda menutup mata kala kini ranjang kedunya telah kembali terisih penuh oleh tubuh dan jiwa keduanya yang merasa lelah. Berharap sebuah awal kisah yang baru sepakat keduanya pindah ke Maaron sebuah daerah di wilayah Kema, Minahasa Utara, dan harapan itu pun terwujud, disana mengahabiskan selusur sisa usia keduanya dalam bahagia dengan sang suami sebagai Tonaas
Air mata tampak membasahi pipi para peserta yang hadir pada Festival Kebudayaan Indonesia yang diselengarakan www.senibudayakita.com tersebut, terdengar bunyi siul, beriring tepuk tanggan, bahkan Standing Applouse dari para perwakilan dari Negara tetangga kala usai pemutaran sebuah film karya anak bangsa yang dikemas lura biasa. Sebuah film yang bercerita tentang asal muasal Tari Pingkan-Matindas Minahasa. Pagelaran pun ditutup dengan sebuah pertunjukan yang ditunggu-tunggu, yang tak lain tak bukan merupakan pertunjukan Tari Pingkan-Matindas Minahasa (ECH).
Disadur dan diceritakan ulang dari karya Chandra. D. Rooroh
untuk generasi penerus, untuh bangsa kita tercinta, untuk Indonesia

Untuk informasi lebih lanjut silahkan kunjungi www.senibudayakita.com