Selasa, 04 Desember 2012

Enjoy Jakarta, WAKTUNYA LUPA WAKTU

Enjoy Jakarta, WAKTUNYA LUPA WAKTU

                Sembari sibuk menyantap makanan yang baru saja mendarat tepat di bale bambu sederhana sebuah warung tempat ia biasa singgah kala istirahat makan siang. Dua sahabat semenjak di bangku kuliah Arman (22) dan Fadly (22) yang kini terdampar pada profesi sebagai tenaga pembukuan pada sebuah perusahaan jasa konstruksi di ibu kota ini, tampak asik menikmati pesanan mereka. Sembari sesekali diselingi oleh gurau salah satu dari keduanya perihal keseharian mereka yang coba dikait-kaitkan dengan potret kehidupan berbangsa yang kerap tersajih dalam ketimpangan penuh hikmah dan sarat makna pada layar kaca, keduanya terpetak dalam bincang seru politik warung kopi.
                Kembali coba bercermin keduanya pada hidangan penggugah selerah, sederhana, bersahaja, khas ibu kota, yang katanya lebih keja dari pada ibu tiri. Terlihat hidup yang sejatinya sungguh lucu adanya, tampak pada kuliner warisan nenek moyang yang perna jaya dimasanya dulu, yang kini akrab disebut kerak telor, sajihan asli Jakarta, dari bahan beras ketan putih, telur ayam, udang kering, bertabur bawang merah goreng serta bumbu campuran dari kelapa sangrai, cabai merah, kencur, jahe, merica, garam dan gula. Melesat bayang keduanya dari raga, menerjang menembus gumpalan awan putih tinggi di langit luas, hingga jatuh kembali menghantam muka bumi kesadaran keduanya, membuka pikir bahwa hidup ini bagaikan kerak telor, manusia berlomba-lomba menjadi yang terbaik dengan mepelajari ini, menguasai itu, menemukan ini, mengembangkan itu, dengan memadupadankan sebuah komposisi tepat kerja keras, terlahirlah sajian pas tersusun dari bahan beras ketan putih, telur ayam, udang kering.
                Hidup ini bagaikan kerak telor dengan sejuta rasa yang yang tersimpan rapi menungguh ditemukan, ada manis, asin, gurih, pedas, asam, hangat, serik. Suatu ketika kita bahagia, bersedih, tertawa, menangis, tersenyum, meradang, merintih, mendesah, berdendang, bersiul, bahkan terkapar dan jatuh bagai tabur bawang merah goreng serta bumbu campuran dari kelapa sangrai, cabai merah, kencur, jahe, merica, garam dan gula di atas kehidupan yang bagaikan kerak telor tersebut.
                Dan satu hal, kenapa hidup ini memang bagaikan kerak telor, sekalipun kita sangat tahu persis dengan apa yang dapat terjadi sepertihalnya disebutkan diatas. Kita akan tetap melahapnya hingga habis, kita akan tetap memegang erat jemari orang-orang terkasih melangkah maju meski lutut tak berhenti bergetar, melangkah maju meski tak mudah dihadapi, melangkah maju dalam dekap rasa sukur terbingkai indah dalam doa dan usaha. Bagaikan kerak telor yang nikmat, hidup butuh dinikmati.
                Bersama tersapu bersihnya piring yang semula terisi penuh oleh santapan nikmat kerak telor, dengan beribu penduduknya, terdapat beribu pula cara menikmati ibu kota, hingga tak terasa usai sudah jam istirahat makan siang keduanya, sejenak melupakan kuasa sang waktu, dengan tenaga yang kembali pulih, bergegas melanjutkan hari. Enjoy jakarta, waktunya lupa waktu (ECH).